TES DNA TERMASUK METODE YANG KELUAR DARI KAIDAH ILMU NASAB
Bersandar pada tes DNA untuk menentukan nasab yang jauh termasuk
metode yang tidak benar dan keluar dari kaidah ilmu nasab. Karena Nabi telah mengajarkan kepada kita mengenai jalan menetapkan nasab yang jauh, yaitu dengan tersiar
luasnya dan terkenalnya nasab tersebut. Ini telah disepakati oleh para ulama Islam,
sebagaimana telah kami
sebutkan. Selain itu tes DNA untuk
nasab yang jauh tidak memiliki keakuratan yang memadai untuk
memastikan kebenaran
suatu nasab.
Tes DNA hanya bermanfaat sebagai bentuk
kehati-hatian,
dan berlaku dalam ruang lingkup yang
sempit, yaitu untuk memastikan
penisbatan seorang
anak kepada ayahnya jika sang ayah mengingkarinya.
Bersamaan dengan itu, para ulama dalam masalah ini tidak menganggap
tes DNA sebagai dalil atau
indikasi, hanya sebagai bentuk kehati-hatian
saja. Sebab Nash Syariat telah
menunjukkan dengan jelas
bagaimana
cara menentukan nasab anak. Jika anak itu
dilahirkan dalam sebuah
pernikahan atau perbudakan
maka ia adalah anak ayahnya atau
tuannya.
Baca Juga : Bersambungnya Keturunan Rasulullah Sampai Hari Kiamat
Dalilnya adalah sabda Nabi :
Nasab anak adalah milik pemilik ranjang yang sah(Suami atau tuan dari budak wanita), pasangan pezina mendapatkan batu (tidak mendapatkan apa-apa). (HR Bukhari)
Ada kisah menarik mengenai sebab datangnya hadits ini. Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa Zam’ah memiliki seorang budak wanita yang di masa Jahiliyah berzina dengan Utbah bin Abi Waqqash. Budak itu pun mengandung dan melahirkan seorang anak lelaki. Utbah memberi wasiat kepada saudaranya yang bernama Sa’ad untuk mengambil anak itu, sebab dalam pandangannya itu adalah anaknya.
Setelah Utbah meninggal, Sa’ad datang kepada putra Zam’ah yang bernama Abd bin Zam’ah meminta anak itu, sebab itu adalah anak dari saudaranya. Abd tidak terima, ia beranggapan anak itu adalah saudaranya sebab zahirnya ia adalah anak dari budak wanita ayahnya. (Seorang pemilik budak memiliki hak untuk berhubungan dengan budak wanitanya). Maka keduanya datang kepada Rasulullah. Rasulullah pun memutuskan bahwa anak itu adalah saudara dari Zam’ah sebab Zam’ah adalah pemilik budak yang sah, dan memberikan kaidah dalam penetapan nasab anak:
Nasab anak milik pemilik ranjang yang sah (Suami atau tuan dari budak wanita), sedangkan bagi pezina batu (tidak mendapatkan apa- apa). (HR Bukhari)
Akan tetapi, ketika Rasulullah melihat ada kemiripan anak tersebut dengan Utbah. Maka Nabi bertindak hati-hati dengan memerintahkan istrinya yang merupakan putri Zam’ah, yakni Sayidah Saudah binti Zam’ah untuk berhijab dari saudaranya itu.
Jadi dalam kasus ini, Rasulullah menetapkan anak itu adalah anak Zam’ah, tetapi tetap bersikap hati-hati dengan meminta anak perempuan Zam’ah untuk berhijab darinya (memperlakukan seperti bukan mahram).
Baca Juga : Siapakah Yang Dimaksud Ahlul Bait?
Demikianlah dalam kasus jika seorang lelaki ragu apakah anak dalam pernikahannya adalah anaknya, ia bisa melakukan tes DNA. Jika hasilnya itu adalah anaknya, maka masalahnya selesai. Namun jika tidak, maka anak itu secara hukum adalah tetap anaknya, hanya saja ia bisa bertindak hati-hati dalam bersikap bersama anak tersebut.
Suami boleh menafikan anak dalam pernikahannya
jika istrinya melahirkan anak yang
tidak mungkin berasal darinya. Seperti istrinya
melahirkan anak ketika ia merantau selama bertahun-tahun. Suami bisa menafikan penisbatan anak itu dengan cara Li’an, sebagaimana telah dibahas
dalam kitab-kitab Fiqih.
Leave a Comment